Sabtu, 18 November 2017

6 Penyebab Yang Menjadikan Terpaksa Harus Pragmatis

Jangan dulu menyalahkan calon pemilih berbuat pragmatis. Menyalahkan orang gampang, tapi bercermin kepada diri sendiri dan proses dari hulu itu susah. Pemilih menjadi materialistis karena hembusan virus dari hulu. Pemilih hanya terbawa arus sistem yang mewabah melalui caleg-caleg dimana partai berasal. Dan caleg-caleg juga terpaksa harus melakukan pragmatis supaya lancar dan aman duduk dalam kendaraannya setidaknya selama pencalonan.

Penulis hanya menonton, lalu belajar darinya dan kemudian muncul sebuah kesimpulan dari fakta-fakta ini. Politik susah ditebak. Tak ada kader terbaik, tak ada kader abadi, tak ada cerita harus loyal, bila tak sejalan maka wajib di depak, bila berbahaya wajib dibenamkan. Tentu boleh-boleh saja berkesimpulan seperti ini. Toh tidak ada yang dirugikan. Dan bagusnya media-media menyajikannya dengan sangat gamblang sehingga tidak menjadi rahasia lagi.

Hati-hati...hati-hati......politik selalu saja ada dua kubu, ada dua kutub yang bersebrangan. Masing-masing membawa misi sehingga situasi selalu saja pasti menghangat. Politik selalu saja ada lawan yang hadir di dalamnya. Tidak ada lawan tidak ada pemilihan, berarti tidak ada pemilu. Dan tak mungkin saat ini tidak ada pemilu. Maka supaya ada pemilu, lawan harus diciptakan. Lawan harus dibuat. Syukur-syukur lawan tersebut adalah boneka. Namun tak bisa semudah itu membuatnya.

Ketika ada caleg atau politisi yang diharapkan bisa membawa amanat rakyat, berjiwa negarawan maka akan luluh bila dihantamkan dengan kekuatan mayoritas. Maka akan sangat sulit berharap kepada perwakilan yang minoritas karena bila kesepakatan mentok, suara mayoritas bisa menghempaskan suara minoritas. Beradu voting saja sudah jelas akan kalah. Maka disinilah perjuangan suara supaya perwakilan bisa mayoritas. Tapi ini perjalanan panjang dan berliku. Bisa, tidak mudah. Selama ada semangat.

Ada dua sisi sudut pandang mengenai sikap politisi yang bisa diamanti. Politisi sebelum menjabat (saat jadi kandidat caleg) dan Politisi setelah menjabat (sebagai anggota legislatif).

Politisi pada saat pemilu, segala upaya di lakukan supaya di coblos rakyat. Kunjung sana kunjung sini, janji ini janji itu, dsb. mereka seakan menghiba-hiba.

Lihat kembali mereka setelah menang : Mereka seperti memiliki dunia sendiri. Berebut jabatan dan posisi. Baik di pemerintahan maupun di internal partai. Bahkan tak jarang mereka harus berhadapan dengan massa. Demo-demo disana-sini karena ada kebijakan yang kontra. Awalnya mereka menghiba untuk dipilih tapi setelah menjabat kemudian mereka punya dunia sendiri bahkan berhadapan menjadi lawan di panggung demo. Mereka lebih getol mengurus peresmian proyek ini dan itu. Kecuali pemilu medekat lagi barulah mereka memasang kembali muka-muka menghiba. Apakah faktanya begini? Entahlah semoga saja uraian ini sekedar angin pagi yang lewat selintas.

Apa yang menjadikan begini : Kita lihat satu sisi dari segi pragmatisme. Ada penyebab yang menjadikan terpaksa harus pragmatis.


  1. Parliamentary Threshold dengan jumlah persentasi tertentu, memaksa partai harus memenuhinya. Caranya dengan berkoalisi dengan partai lain, meskipun pada pemilu sebeumnya mereka adalah lawan. Dan disini tidak mungkin hanya sebatas meleburkan visi misi dan berhimpunnya suara untuk mengejar ambang batas. Akan terjadi juga diskusi dan komitmen-komitmen. Lajimnya adalah jatah kursi atau jabatan tertentu. Mustahil sebuah partai begitu saja memberikan dukungan. Emangnya biaya politik gratis?

    Bukankah kesepakatan-kesepakatan antar partai ini dinamakan pragmatis? Jadi partai sudah melakukan transaksi pragmatis lebih dulu sebelum calon pemilih. Dan biaya politik yang sangat mahal ini harus membuah hasil, yakni menang dengan bagaimanapun caranya. Beberapa yang mencuat ke media saling memunculkan berita negatif yang berpotensi menjatuhkan atau membangun rasa simpati massa. Massa itu tak tau yang terjadi persisnya bagaimana, yang mereka tahu adalah sebagaimana adanya berita. Inilah mengapa televisi sangat efektif. Apalagi beberapa politisi memiliki stasiun-stasiun tv sehingga sangat mudah untuk menyebarkan berita yang menggiring massa kepada maksud tertentu.
  2. Caleg saat pendaftaran menjadi kandidat prosesnya harus ada mahar. Syukur-syukur sih praktek ini sudah tidak ada lagi. Tapi apakah demikian? Mahar harus mengeluarkan modal. Dan modal ini belum di tambah untuk sosialisasi ketengah-tengah masyarakat. Maka biaya politik menjadi bengkak. Sebelum menjadi kandidat saja sudah banyak dana terkuras. Bukankah mahar ini dinamakan pramatis?
  3. Daripada kalah maka harus ditempuh jalan apapun supaya menang. Mengapa? Karena uang sudah keluar banyak bahkan sebelum namanya tercantum sebagai kandidat caleg di partai. Maka supaya balik modal, menang adalah pilihannya, tak ada cara lain. Akhirnya tergoda untuk melakukan money politik. Lagi-lgi uang dan balik modal yang menjadi sentral pemikiran, bukan bagaimana melakukan perjuangan saat menang. Bukan cara seharusnya yang dilakukan dalam proses pemenangan. Mungkin hati hendak melakukan proses yang normal layaknya pemenangan, tapi kandidat lain akan melakukan apa pun untuk menang meski dengan money politik. Maka kekhawatiran yang sangat ini pun mencuat menjadi tindakan yang juga tidak sehat, money politik. Maka caleg pun melakukan money politik saat pemilu agar dirinya banyak yang milih.
  4. Menjelang pemilu, caleg banyak yang melakukan money politik karena cara inilah yang dianggapnya sangat instan bisa mendulang suara. Meskipun tidak bisa dipastikan hasilnya. Melakukan pemenangan dengan cara pemenangan normal banyak kendala. Kendala waktu, kendala jaringan, kendala skil sang caleg yang tidak biasa berbicara dan debat di depan publik, dsb. Dan yang paling memprihatinkan adalah kendala terbatasnya pengetahuan pemenangan. Maka cara money politik sangat membantu caleg. Siapa sih yang tidak butuh uang. Maka uang pun akhirnya menghujani para pemilih sesaat sebelum pergi ke bilik pencoblosan. Pada situasi dimana ekonomi sangat sulit tentu adanya uang yang menghampiri dengan sendirinya tak mungkin ditolak. Kapan lagi kesempatan seperti ini kalau bukan saat pemilu sekarang. Maka caleg yang idealis dan tidak punya modal menjadi tergeser dan tergerus.
  5. Mereka caleg yang punya perusahaan mereka jadikan perusahaannya menampung pekerja baru. Sudah bisa terbaca kemana arahnya. Bila mau masuk kerja diperusahaannya maka seseorang perantara bisa menekankan kesepakatan ini. Bisa masuk kerja asal membantu pemenangan setidaknya mengajak keluarga untuk mencoblos sang caleg. Siapa yang menolak pekerjaan apalagi gajinya lumayan menggiurkan. Mencari sendiri saja sudah, lho ini di tawarin dengan ditukar suara, apa ruginya. Apakah namanya praktek ini kalau bukan praktek pragmatis.
  6. Pada saat caleg menang, maka caleg tiba-tiba tak lagi berkunjung atau setidaknya turun menyapa kepada para pemilih. Mereka lenyap entah kemana ditelan kesibukannya sebagai anggota legislatif. Mereka datang kembali nanti saat sudah dekat kembali masa pencaleggan. Pemilih ramai-ramai menyematkan gelar "kacang lupa kulit kepada caleg" dan nada miring lainnya. Sementara caleg MUNGKIN dipikirannya " Ngapain turun lagi, kan mereka sudah menghabiskan uang saya, mereka sudah menguras kantong saya, mereka sudah dibayar jelang pencoblosan dan sekarang giliran saya fokus supaya cepat-cepat balik modal. Maka dari pihak pemilih, adanya gejolan merasa di khianati caleg "kacang lupa kulit." Di pemilu mendatang melakukan pembalasan dengan tidak memilih lagi cang caleg dan beralih kepada caleg lain yang memberi uang jelang pemilihan. Caleg lama terbenam caleg baru muncul dengan tipe yang sama. Dengan pola pemenangan yang sama. Maka lahirlah pandangan yang menggejala "Lebih baik mendapat sesuatu yang nyata sebelum pemilihan daripada tidak dapat apa-apa setelah mereka menang."
Kejadian ini terus berulang membentuk siklus memutar. Pragmatis lagi-pragmatis lagi. Lagi-lagi pragmatis. Dan perlahan tapi pasti ini akan mengancam proses demokrasi, demokrasi hanya sebatas tampaknya namun rapuh di dalamnya dan pelakunya yang mengawali adalah politisi itu sendiri. Bahkan bukan berhenti disini, prakter ini juha akan semakin kronis dan berpotensi mengancam kedaulatan negara. 

Jumlah caleg di senayan yang tak lebih dari 700 orang akan sangat rentan untuk tergiyah oleh kueh-kueh yang menggiurkan. Belum termasuk kue-kue dan pundi-pundi kiriman dari luar yang punya maksud. Disinilah kata orang-orang pintar bahwa hukum dan undang-undag bisa dibeli. Bukan undang-undangnya yang bisa di beli tapi orang-orangnya yang sudah dikendalikan oleh keserakahan yang akut sehingga akan berkoar mati-matian demi pihak-pihak dibelakangnya. Mengapa mereka berani?

Setidaknya karena 2 alasan : 
Pertama, Karena kue yang menggiurkan baik jabatan, kekuasaan ataupun materi. 
Kedua, Ancaman, atau tekanan  yang bisa menyebabkan hilangnya segala kenikmatan, atau karena takut aib-aibnya ada yang membongkar. Kartu as yang siap di unjukkan akan membuat caleg terkekang dan mau melakukan segala cara untuk mencari aman. Seperti di film aja yaaa.

Demikian penyebab terpaksa harus PRAGMATIS. Semoga bermanfaat silahkan baca juga artikel lainnya.

Oh ya.....ayo dong bantu rekan2 kita se-Indonesia biar keranjingan baca, biar kita-kita mulai melek baca dan menyebarkan semanga ini ke yang lainnya. Oh ya..bila tulisan yang anda baca berasa ada manfaatnya,, janji yaa...bantu untuk di share. :):):):)

Banyak nasehat tersebar di internet bagaimana anda bisa menang pemilu. Apakah cocok dengan yang anda cari selama ini? Semoga saja. Saya harap di blog sederhana ini pun anda mungkin bisa menemukan strategi yang anda cari.

Saya sudah menulis langkah-langkah saya saat jadi ketua tim sukses caleg pada pileg 2009. Dan berhasil. Semoga cara saya yang bisa anda dapatkan menyebar di banyak halaman di blog ini bisa anda gunakan untuk pemenangan anda.

Ada ebook yang bisa anda dapatkan Gratis untuk anda bawa pulang dan dibaca dirumah sambil nyantai. Klik disini, lalu silahkan pilih sesuai dengan Judul yang anda inginkan. semoga bermanfaat.

Salam dari saya.

Sunaryo Sariudin S.Pd.
*Ketua Tim Sukses Caleg pada pileg 2009, hasil 1 kursi, suara 5.400.
*Penulis buku : Buku Menang Cemerlang Tanpa Uang Merebut Kursi Legislatif
* blog : https://menangpemilulegislatif.blogspot.co.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga Artikel Berikut Ini :

Bagaimana supaya Anda menang di PILEG bergantung dari anda membangun AUDIEN ANDA SENDIRI dan membangun DAYA AJAK yang kuat. Bagaimana Caranya?


Silahkan baca artikel-artikel pemenangan PILEG berikut ini :

  1. Persiapan Menyeluruh Untuk Pemenangan Anda di PILEG
  2. Inilah Penyebab Proses Pemenangan Dilakukan Serampangan
  3. Mau Nyaleg? Sempatkan Untuk Mempelajari Situasi dan Iklim Di Internal
  4. 12 Wilayah Rahasia Ini Jarang Semua Di Garap Caleg Dalam Marketing Politik
  5. Buku ini awalnya hanya untuk catatan pribadi saat jadi ketua tim sukses pileg 2009
  6. Mau Nyaleg? Sempatkan Untuk Mempelajari Situasi dan Iklim Di Internal
  7. Fenomena Partai Yang Seharusnya Jadi Cambuk Bikin Terus Perbaikan Internal Tanpa Kecuali
  8. Cari Pengurus Partai Ternyata Sulit. Bisa-bisa Kelimpungan
  9. Buku : Kunang-kunang Pemenangan Pemilu
  10. Inilah Penyebab Proses Pemenangan Dilakukan Serampangan
  11. Mendalami Pemilih Pragmatis
  12. Bagi Caleg Kendala Vital Untuk Menang Pileg Sebenarnya Hanya Satu
  13. Jangan Salah Pendekatan, Efeknya Fatal Untuk Kemenangan Sang Caleg
  14. 10 Bahaya Pragmatis Yang Mungkin Jarang Dipikirkan Serius Efeknya Sangat Berbahaya
  15. Semua Inti Tulisan Pemenangan Pileg Tentang Hal Ini, Apa Saja?
  16. Bila Nyaleg Jangan Kalah Sama Tukang Sayur Keliling
  17. Bukan Yang Terbaik Tapi.....
  18. Asyikkkk!!!!Tulisan Saya Di Muat dan Di Sebar
  19. Cara Menang Mutlak di Pileg
  20. Persiapan Menang Nyaleg Di Pileg 2019
  21. Berbekal Sejak Dini, Dengan Strategi Pemenangan Yang Ampuh
  22. Mendalami 2 Jenis Pemilih Pragmatis, Anda Jangan Terperangkap
  23. 6 Penyebab Yang Menjadikan Terpaksa Harus Pragmatis
  24. 5 Hal Ini Sepertinya Harus Ada Pada Caleg Supaya Tak Beresiko Besar
  25. Caleg Harus Siaga Diri Mengamankan Diri, Aman dari Sisi Ini

============================

Lanjutkan ke SESI 2 : Klik disini!

-------------------------------------------------