PADA tanggal 17 Agustus 2017 kita sudah 72 tahun menjadi bangsa merdeka. Berkat perjuangan pendiri republik, kita memiliki kedaulatan di negeri sendiri. Sayangnya, 72 tahun menjadi bangsa merdeka, rakyat masih banyak yang hidup sengsara. Soalnya, setelah hidup di negara yang merdeka, banyak pula pejabat dan politisinya merdeka untuk berbuat korupsi.
Bahwa kita merdeka secara politik memang iya, tapi merdeka secara ekonomi sepertinya belum. Di bidang ekonomi, yang merdeka hanya pejabat dan politisinya. Karena banyak duit, mereka merdeka menentukan pilihannya. Mau rumah bagus, bisa pilih di real estate. Pengin mobil luks, tinggal kontak dealer. Pengin istri cantik, banyak perempuan matrialistis siap menjadi pendamping hidup.
Sebaliknya kalangan rakyat kecil, mayoritas masih menderita. Karena kemiskinannya, dia tak merdeka menentukan pilihan. Makan mau pakai nasi rajalele tidak mampu, sehingga cukup dengan raskin. Rumah tak mungkin di real estate, nyerobot lahan pemerintah (tanah negara) pun terpaksa dilakukan.
Karena korupsi, negara tak mampu menyejahterakan rakyatnya. Dana APBN yang mustinya untuk kesejahteraan rakyat, banyak yang nyangkut ke pejabat dan politisi. Pejabat lewat kebijakan, politisi Senayan lewat penggiringan proyek. Karena atasan jadi tukang catut harta negara, yang kecil ikut-ikutan nyatut sesuai kapasitas masing-masing.
Sejak Indonesia merdeka, korupsi memang sudah mulai berjangkit. Di era Orde Lama juga sudah banyak cara dilakukan untuk memberantas korupsi, tapi tidak efektif. Di era Orde Baru sami mawon, saat Indonesia mulai menggeliat ekonominya, pelaku korupsi juga meningkat. Bahkan selama 32 tahun memimpin negara, Orde Baru telah “berhasil” menciptakan stigma baru bahwa: korupsi adalah budaya.
Tapi di era reformasi, korupi ternyata justru makin menggila. Banyaknya politisi produk parpol, justru makin banyak orang korupsi. Mereka bekerja sama dengan pejabat negara ikut menggerogoti uang negara. Karenanya tak mengherankan, di bulan Ramadan 14378 H tempo hari, begitu banyak pejabat dan politisi kerja bersama mengakali uang negara.
Sejak tahun 2004 Indonesia membentuk lembaga KPK, karena lembaga penegak hukum yang lama pada letoy. Tapi meski KPK sudah bekerja mati-matian menangkap koruptor kakap hingga kelas wader cethul (teri), korupsi belum juga sirna di Indonesia.
Korupsi yang semakin masif itu, Presiden Jokowi mencoba menangkalnya lewat Revolusi Mental. Tapi sepertinya masih wacana belaka, buktinya orang semakin berani dan tidak malu. Bayangkan, ditangkap KPK kok bisa-bisanya cengengesan.
http://poskotanews.com/2017/08/18/banyak-pejabat-dan-politisi-merdeka-untuk-korupsi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar