Kamis, 26 Oktober 2017

Menelisik Pemilih Pragmatis Dalam Pileg - Literatur 4

Prilaku dan Tipologi Pemilih Pada Pilkada Didalam UU No 8 Tahun 2012 Pemilih didefinisikan sebagai Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Definisi yang sama juga dalam UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Intinya warga negara yang berusia 17 tahun atau sudah menikah tersebut diinventarisir, didaftarkan dan ditetapkan dalam DPT oleh KPU agar yang bersangkutan dapat memberikan hak pilihnya dalam Pemilu.

PERILAKU PEMILIH
Perilaku pemilih merupakan tingkah laku pemilih atau tindakan individu yang memiliki hak pilih dalam proses pemberian suara dalam penyelenggaraan pemilihan umum serta latar belakang seseorang melakukan tindakan tersebut. Tingkah laku atau tindakan individu dalam proses pemberian suara itu meliputi tiga aspek yaitu preferensi (orientasi terhadap isu, orientasi terhadap kualitas personal kandidat, identifikasi partai), aktivitas (keterlibatan dalam partai politik tertentu, keterlibatan dalam setiap kampanye, kehadiran dalam pemungutan suara) dan pilihan terhadap salah satu partai politik tertentu. Dalam memahami perilaku pemilih para pakar seringkali menggunakan 4 (empat) model pendekatan, diantaranya sebagai berikut :

1) Model sosiologis (sociological theory)
Para pakar menemukan adanya keterkaitan yang erat antara perilaku pemilih dengan aspek-aspek kemasyarakatan seseorang itu, seperti:
- Status sosial ekonomi (socio-economic status)
- Agama (religion) dan
- Wilayah tempat tinggal (area of residence)
Perilaku memilih didalam pemilu bukanlah kehendak individu melainkan determinan kelompok sosial, memilih juga merupakan bagian dari kohesi (keterikatan) sosial. Setiap lingkaran sosial memiliki normanya sendiri, kepatuhan terhadap norma tersebut menghasilkan integrasi yang mengontrol perilaku individu dengan cara memberikan tekanan agar individu tersebut menyesuaikan diri. Pada konteks politik, penyesuaian tersebut di manifestasikan dengan cara tidak memilih kandidat atau partai politik yang memungkinkan terjadinya ketegangan dengan lingkungan sosialnya.

Untuk menggarisbawahi fakta bahwa determinasi perilaku pemilu seseorang berkenaan dengan kelompok sosial dari mana individu tersebut berasal, Columbia School mengembangkan suatu indeks predisposisi politis, yang memiliki nilai perkiraan yang tinggi. Pada akhirnya, indeks ini hanya terdiri atas kombinasi dari tiga faktor : status sosio ekonomis, agama dan daerah tempat tinggal. Berdasarkan tingginya relasi antara predisposisi politis sesuai struktur sosial dan keputusan yang diambil berkenaan dengan pemilu, para peneliti sampai pada suatu kesimpulan yang sering dikutip: seseorang berpikir politis sebagaimana ia berpikir secara sosial. Karakteristika sosial menentukan kecendrungan politis.

2) Model psikologis (physological theory)
Pendekatan kedua disebut dengan model psikologis, dikembangkan oleh beberapa sarjana di bawah Survey Research Centre di Universitas Michigan (Michigan’s School) pada saat pemilu presiden USA tahun 1948. Pendekatan psikologis berusaha untuk menerangkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan pemilu jangka pendek atau keputusan yang diambil dalam waktu yang singkat. Hal ini berusaha dijelaskan melalui trias determinan, yakni identifikasi partai, orientasi kandidat dan orientasi isu/tema. Inti dasar pemikiran ini dituangkan dalam bentuk sebuah variable yakni identifikasi partai. Variable ini digunakan untuk mengukur jumlah faktor-faktor predisposisi pribadi maupun politik yang relevan bagi seorang individu. Apabila faktor-faktor predispose (seperti misalnya pengalaman pribadi atau orientasi politik) diumpamakan sebagai suatu aliran yang dituangkan melewati sebuah corong, maka PI yang merupakan semacam keanggotaan psikologis partai, dapat diumpamakan sebagai sebuah saringan dalam corong kausal ini (funnel of causality).

Identifikasi dengan sebuah partai tertentu biasanya tidak berjalan seiring dengan keanggotaan formil/resmi seorang individu dalam sebuah partai. Oleh karena itu keanggotaan partai secara psikologis juga disebut dengan orientasi partai yang afektif, sebuah definisi yang sama sekali tidak menggunakan istilah “keanggotaan”. PI diperoleh melalui proses sosialisasi yang dipengaruhi oleh nilai-nilai dan sikap dalam keluarga, kolega dan teman sebaya. Green dkk (2002) menyatakan warga yang telah mengalami proses-proses tersebut secara psikologis memiliki ketertarikan terhadap partai politik. Karenanya, tidak jarang pilihan seorang anak yang telah melalui tahap sosialisasi politik (identifikasi kepartaian) akan memilih partai yang sama dengan yang dipilih oleh orang tuanya.

Sedangkan dalam orientasi kandidat berlaku ketentuan sebagai berikut : semakin sering sang pemilih mengambil posisi terhadap kandidat-kandidat yang ada, semakin besar pula kemungkinan bahwa ia akan berpartisipasi dalam pemilu. Apabila pandangan sang pemilih semakin cocok dengan kandidat sebuah partai tertentu, maka semakin besar pulalah kemungkinan bahwa ia akan memilih kandidat tersebut. Preferensi kandidat dan orientasi isu menurut peneliti Michigan’s School lebih tergantung kepada perubahan dan fluktuasi dibandingkan dengan PI.

Karena itu para peneliti Michigan’s School tersebut sejak tahun 1960 sudah memandang PI sebagai sebuah ikatan partai psikologis dan stabil, yang tidak lagi dipengaruhi oleh faktor pengaruh jangka pendek.

Secara keseluruhan, pendekatan psikologis dapat memberikan tambahan yang berarti kepada model penjelasan sosial struktural bagi perilaku pemilu. Dengan demikian, maka pengaruh jangka pendek harus dapat dipertimbangkan dalam menilai perilaku pemilu, terutama dalam menjelaskan perilaku pemilu yang berubah-ubah. Para ahli ilmu sosial dari Michigan School terutama mengkritik permasalahan yang dimiliki dalam menimbang bobot ketiga faktor pengaruh dan konsep identifikasi partai. Seperti yang diakui oleh Campbell, Gurin dan Miller, bobot penjelasan yang dimiliki masing-masing determinan senantiasa berubah ubah dari pemilu yang satu kepada pemilu yang lain.

3) Model ekonomi/pilihan rasional (rational choice theory)
Secara teoritis pendekatan ekonomi atau pilihan rasional diadaptasi dari buku “An Economic Theory of Democracy” karangan Anthony Downs. Buku yang dipublikasikan pada tahun 1957 tersebut menjelaskan bahwa pilihan rasional dapat di jelaskan secara ekonomi, yakni dengan memaksimalkan manfaat dan meminimalisir resiko. Menurut Downs melalui deskripsinya mengenai homo economicus, bahwa sang pemilih rasional hanya menuruti kepentinganya sendiri atau kalaupun tidak, akan senantiasa mendahulukan kepentingannya sendiri diatas kepentingan orang lain. Downs menganalogikan partai politik seperti enterpreneur dalam mencari keuntungan ekonomi. Enterpreneur harus bisa meyakinkan konsumen soal manfaat dari produk yang dijual. Tentunya aspek manfaat tersebut dipahami juga secara rasional oleh konsumen. Sama halnya dengan partai politik dalam sebuah pemerintahan, bagaimana kebijakannya mampu menumbuhkan kepercayaan pemilih soal manfaat yang diperoleh pemilih. Dengan begitu, pemilih akan memilih partai atau kandidat yang memberikan manfaat tersebut.

Meskipun pemilih dalam teori pilihan rasional tidak memahami secara detail kebijakan pemerintah. Akan tetapi ia dapat mengambil kesimpulan dari proses generalisasi dari kebijakan yang diambil. Sejauh mana kebijakan tersebut menguntungkan secara pribadi dan masyarakat umum. Pemilih dalam teori pilihan rasional juga membandingkan dari sekian alternatif pilihan yang tersedia, lalu mulai memberikan peringkat sebagai acuan dalam preverensi pilihannya. Pemilih model ini juga memberikan penghargaan kepada partai dan calon yang dirasa menguntungkan dengan cara memilihnya kembali pada pemilu mendatang. Karenanya Ia harus memiliki informasi memadai untuk menentukan pilihannya. Sekaligus memperkirakan dampak yang akan diperoleh atas pilihannya.

4) Model Domain Kognitif/bauran pemasaran (Political Marketing mix)
Newman & Sheth mengembangkan model perilaku pemilih berdasarkan beberapa domain yang terkait dengan marketing. Dalam mengembangkan model tersebut, mereka menggunakan sejumlah kepercayaan kognitif yang berasal dari berbagai sumber seperti pemilih, komunikasi dari mulut ke mulut, dan media massa. Model ini dikembangkan untuk menerangkan dan memprediksikan perilaku pemilih. Adman Nursal mengemukakan bahwa political marketing bertujuan untuk membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi perilaku pemilih. Perilaku pemilih diharapkan adalah ekspresi pendukung dengan berbagai dimensinya, khususnya menjatuhkan pilihan pada partai atau kandidat tertentu”.

Menurut Adman Nursal, perilaku pemilih ditentukan oleh tujuh domain kognitif yang berbeda dan terpisah, sebagai berikut:
a) Isu dan kebijakan politik (issue and policies); merepresentasikan kebijakan atau program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika kelak menang pemilu. Inilah platform dasar yang ditawarkan oleh kontestan Pemilu kepada para pemilih. Yang termasuk dalam komponen ini adalah kebijakan ekonomi, kebijakan luar negeri, kebijakan dalam negeri, kebijakan sosial, kebijakan politik dan keamanan, kebijakan hukum, dan karakteristik kepemimpinan.
b) Citra sosial (social imagery); menunjukkan stereotip kandidat atau partai untuk menarik pemilih dengan menciptakan asosiasi antara kandidat atau partai dengan segmen-segmen tertentu dalam masyarakat. Social imagery adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai "berada" di dalam kelompok sosial mana atau tergolong sebagai apa sebuah partai atau kandidat politik. Social imagery dapat terjadi berdasarkan banyak faktor, antara lain:
i. Demografi:
- Usia (contoh: partai orang muda)
- Gender (contoh: calon pemimpin bangsa dari kaum hawa)
- Agama (contoh: partai orang Islam, partai orang Katolik)
ii. Sosio ekonomi:
- Pekerjaan (contoh: partai kaum buruh)
- Pendapatan (contoh: partai wong cilik)
iii. Kultural dan etnik:
- Kultural (contoh: kandidat presiden yang seniman)
- Etnik (contoh: partai orang jawa)
iv. Politis-ideologi (contoh: partai nasionalis, partai agamis, partai konsevatif, partai moderat).
c) Perasaan Emosional (emotional feeling); dimensi emosional yang terpancar dari sebuah kontestan atau kandidat yang ditunjukkan oleh policy politik yang ditawarkan.
d) Citra kandidat (candidate personality); mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting yang dianggap sebagai karakter kandidat. Pada Pemilu Amerika tahun 1980, misalnya, Reagan memiliki citra sebagai "pemimpin yang kuat", sementara John Glen pada tahun 1984 mencoba mengembangkan citra sebagai "seorang pahlawan". Beberapa sifat yang juga merupakan candidate personality adalah artikulatif, welas-asih, stabil, energik, jujur, tegar, dan sebagainya.
e) Peristiwa mutakhir (current events); mengacu pada himpunan peristiwa, isu, dan kebijakan yang berkembang menjelang dan selama kampanye. Secara umum, current events dapat dibagi menjadi masalah domistik dan luar negeri. Yang termasuk dalam masalah domestik misalnya adalah tingkat inflasi, prediksi ekonomi, gerakan sparatis, ancaman keamanan, merajalelanya korupsi, dan sebagainya. Sedangkan masalah luar negeri misalnya perang antara negara-negara tetangga, invasi sebuah negara ke negara lainnya, dan contoh lainnya yang mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada para pemilih.
f) Peristiwa pribadi (personal events); mengacu pada kehidupan pribadi dan peristiwa yang pernah dialami secara pribadi oleh seorang kandidat misalnya skandal seksual, skandal bisnis, menjadi korban rezim tertentu, menjadi tokoh pada perjuangan tertentu, ikut berperang untuk mempertahankan tanah, dan sebagainya.
g) Faktor-faktor epistemik (epistemic issuees); isu-isu pemilihan yang spesifik yang dapat memicu keingintahuan para pemilih mengenai hal-hal baru. Carter pada pemilihan Presiden Amerika tahun 1976 berhasil menunjukkan dirinya sebagai "wajah segar" pada dunia politik. Pada Pemilu Amerika tahun 1992, Ross Perot sempat muncul sebagai pesaing George Bush dan Bill Clinton. Bagi sebagian pemilihm Ross Perot merepresentasikan seorang kandidat di luar mainstream dan terlihat sebagai seorang yang akan melakukan sesuatu yang berbeda dan unik dari tradisi politik. Epistemic issues ini sangat mungkin muncul di tengahtengah ketidak percayaan publik kepada institusi-institusi politik yang menjadi bagian dari sistem yang berjalan. Pendekatan political marketing ini relatif bisa mengambarkan secara komprehensif mengenai perilaku pemilih di Indonesia. Hal ini dikarenakan pertama, sistem multi partai yang memungkinkan siapa saja boleh mendirikan partai politik dan konsekuensinya menyebabkan persaingan tajam antar parpol. Kedua, pemilih telah lebih bebas menentukan pilihannya dibandingkan pemilu sebelumnya, sehingga syarat bagi penerapan political marketing terpenuhi. Ketiga, partai-partai lebih bebas menentukan platform dan identitas organisasinya. Keempat, pemilu merupakan momentum sejarah dalam perjalanan bangsa sehingga pihak-pihak kepentingan terutama para elit politik akan berusaha keras untuk ambil bagian. Kelima, sistem pemilihan anggota parlemen, DPD, dan Presiden secara langsung, yang kelak akan diikuti oleh pemilihan gubernur, bupati dan walikota.

Kualitas Pemilih Pada Pilkada
Dalam memilih sebuah partai politik maupun kontestan, pemilih memiliki perilaku dalam mengambil keputusan untuk menentukan pilihannya. Menurut Firmanzah pada kenyataannya pemilih adalah dimensi yang sangat kompleks. Terkadang perilaku pemilih ini rasional dan non-rasional dalam menentukan keputusannya. Perilaku pemilih yang terkadang rasional dan non rasional menjadikan pemilih memiliki karakter yang berbeda pada setiap pemilih. Selain itu pandangan pemilih dalam menentukan pilihan terhadap partai politik dan kontestan menjadikan karakter yang membedakan pada setiap pemilih. Sehingga pemilih memiliki peran yang berbeda-beda pula pada pemilihan umum.

Firmanzah menambahkan bahwa dalam diri masing-masing pemilih terdapat dua orientasi sekaligus yaitu; (1) orientasi ‘policy-problem-solving’, dan (2) orientasi ‘ideologi’. Ketika pemilih menilai partai politik atau seorang kontestan dari kacamata ‘policy-problem solving’, yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para kontestan mampu menawarkan program kerja atas solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung sacara objektif memilih partai politik atau kontestan yang memiliki kepekaan terhadap masalah nasional dan kejelasan program kerja. Partai politik atau kontestan yang arah kebijakannya tidak jelas akan cenderung tidak dipilih. Sementara pemilih yang lebih mementingkan ikatan ‘ideology’ suatu partai atau kontestan, akan lebih menekankan aspek-aspek subjektifitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai politik atau calon kontestan, pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya kepartai dan kontestan tersebut.

Berdasarkan dua orientasi diatas maka terdapat konfigurasi pemilih seperti di bawah ini :
1. Pemilih Rasional
Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ideology kepada suatu partai atau seorang kontestan. Faktor seperti paham, asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, daripada paham dan nilai partai atau kontestan.

2. Pemilih Kritis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah pertai politik atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah ‘rational voter’ untuk berpaling ke partai lain. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara system nilai partai (ideology) dengan kebijakan yang akan dibuat. Pemilih jenis ini harus di ‘menege’ sebaik mungkin oleh sebuah partai politik atau seorang kontestan, pemilih memiliki keinginan dan kemampuan untuk terus memperbaiki kinerja partai, sementara kemungkinan kekecewaan yang bisa berakhir ke frustasi dan pembuatan partai politik tandingan juga besar.

3. Pemilih tradisiona
l Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideology yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan social-budaya, nilai asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Biasanya pemilih jenis ini lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan konservatif dalam memegang nilai serta paham yang dianut. Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama periode kampanye, loyalitas tinggi merupakan salah satu cirri khas yang paling kelihatan bagi pemilih jenis ini. Pemilih dalam hal ini lebih banyak menggunakan faktor nonrasional dalam proses pengambilan keputusan untuk memberikan suaranya. Masyarakat lebih menekankan aspek yang mereka rasakan daripada pertimbangan logis. Dunia politik tidak seluruhnya bersifat rasional dan logis. Fanatisme pemilih atas suatu partai politik atau kandidat tidak dapat dijelaskan dari sudut pandang rasional. Misalnya, sikap yang bahkan rela mati demi suatu partai politik atau kandidat adalah sikap yang tidak dapat dijelaskan dengan logika. Padahal justru hal-hal seperti inilah yang seringkali kita temukan dalam kehidupan politik. 4. Pemilih Skeptis Pemilih skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideology cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga sebagai sesuatu penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memedulikan program kerja atau ‘platform’ dan kebijakan sebuah partai politik. Dalam aspek tertentu, pemilih jenis ini lebih menonjolkan sikap pragmatisme, misalnya karena politik uang. Politik uang sebagai bentuk pragmatisme politik tidak selalu dalam arti pemberian sejumlah uang kepada pemilih, tetapi bisa dalam bentuk-bentuk yang agak soft agar tidak dikesankan "membeli" suara seperti bantuan sembako, pembangunan masjid dan sebagainya.

Ada juga yang mengelompokkan sebagai berikut:
Pertama, pemilih tradisional, karakter pemilih ini adalah pemilih yang berasal dari masyarakat kelas menenangah kebawah. Masyarakat ini memiliki harapan yang besar terhadap pergantian kepemimpinan, karena melalui hal inilah harapan mereka bisa dititipkan sebagai amanah yang mereka aplikasikan dengan memilih, maka mereka berharap ada perubahan yang akan datang. Kondisi inilah yang sering dimanfaatkan banyak calon kandidat, calon-calon yang bertarung pada level Provinsi/Kabupaten/Kota menggunakan jargon rakyat sebagai ilustrasi politik mempengaruhi eloktoral. Pemilih tradisional ini adalah yang paling mudah menjadi alat kepentingan kandidat sebagai pendulang suara, karena selain mudah dipengaruhi dengan janji juga dengan sembako yang biasanya dilakukan beberapa kandidat dbeberapa pilkada.

Kedua, pemilih cerdas, pemilih ini adalah yang memahami kondisi politik yang apa adanya dan seharusnya. Sehingga, pemilih ini akan selalu menghubungkan persoalan kondisi politik dengan teori yang ia dapatkan dari buku atau lainnya. Ketidaksesuaian antara teori dengan kenyataan menjadikan pemilih ini akan cerdas menentukan pilihannya. Para kandidat, umumnya memperkenalkan visi-misi dan program kerja yang masuk akal untuk mempengaruhi konstituen ini, meskipun pada kenyataannya pemilih ini jumlahnya rendah.

Ketiga, pemilih pragmatis, istilah pemilih adalah the real dollar hunter.Pemilih inilah yang menyebabkan mahalnya biaya pemilu. Pemilih ini adalah pemilih yang suka berpindah-pindah kesana dan kemari yang menyebabkan ia memberikan harapan kepada banyak calon, 2 atau 3. Hal ini menjadikan penyebab mahalnya demokrasi Indonesia karena ulah pemilih ini mencari keuntungan pribadi dalam pesta demokrasi.

Keempat, pemilih apatis, pemilih ini adalah pemilih yang tidak memberikan kepercayaan pada satu calon pun. Sehingga, tidak memiliki patron layaknya pemilih tradisional, akan tetapi ia memiliki pengetahuan layaknya pemilih cerdas namun ia tidak dapat mempercayai kredibilitas calon. Terkadang pada titik apatismenya ia berprinsip "Siapapun yang terpilih tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat". Sangat apriori terhadap para calon. Biasanya kelompok ini memilih golput sebagai final solutions terhadap masalah bangsa.Pemilih apatis kadang berubah menjadi pemilih pragmatis.
(Sumber : teungkudaghee.blogspot.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga Artikel Berikut Ini :

Bagaimana supaya Anda menang di PILEG bergantung dari anda membangun AUDIEN ANDA SENDIRI dan membangun DAYA AJAK yang kuat. Bagaimana Caranya?


Silahkan baca artikel-artikel pemenangan PILEG berikut ini :

  1. Persiapan Menyeluruh Untuk Pemenangan Anda di PILEG
  2. Inilah Penyebab Proses Pemenangan Dilakukan Serampangan
  3. Mau Nyaleg? Sempatkan Untuk Mempelajari Situasi dan Iklim Di Internal
  4. 12 Wilayah Rahasia Ini Jarang Semua Di Garap Caleg Dalam Marketing Politik
  5. Buku ini awalnya hanya untuk catatan pribadi saat jadi ketua tim sukses pileg 2009
  6. Mau Nyaleg? Sempatkan Untuk Mempelajari Situasi dan Iklim Di Internal
  7. Fenomena Partai Yang Seharusnya Jadi Cambuk Bikin Terus Perbaikan Internal Tanpa Kecuali
  8. Cari Pengurus Partai Ternyata Sulit. Bisa-bisa Kelimpungan
  9. Buku : Kunang-kunang Pemenangan Pemilu
  10. Inilah Penyebab Proses Pemenangan Dilakukan Serampangan
  11. Mendalami Pemilih Pragmatis
  12. Bagi Caleg Kendala Vital Untuk Menang Pileg Sebenarnya Hanya Satu
  13. Jangan Salah Pendekatan, Efeknya Fatal Untuk Kemenangan Sang Caleg
  14. 10 Bahaya Pragmatis Yang Mungkin Jarang Dipikirkan Serius Efeknya Sangat Berbahaya
  15. Semua Inti Tulisan Pemenangan Pileg Tentang Hal Ini, Apa Saja?
  16. Bila Nyaleg Jangan Kalah Sama Tukang Sayur Keliling
  17. Bukan Yang Terbaik Tapi.....
  18. Asyikkkk!!!!Tulisan Saya Di Muat dan Di Sebar
  19. Cara Menang Mutlak di Pileg
  20. Persiapan Menang Nyaleg Di Pileg 2019
  21. Berbekal Sejak Dini, Dengan Strategi Pemenangan Yang Ampuh
  22. Mendalami 2 Jenis Pemilih Pragmatis, Anda Jangan Terperangkap
  23. 6 Penyebab Yang Menjadikan Terpaksa Harus Pragmatis
  24. 5 Hal Ini Sepertinya Harus Ada Pada Caleg Supaya Tak Beresiko Besar
  25. Caleg Harus Siaga Diri Mengamankan Diri, Aman dari Sisi Ini

============================

Lanjutkan ke SESI 2 : Klik disini!

-------------------------------------------------