Sabtu, 27 Oktober 2012

Politik Ibarat Permainan Olehraga

Politik dapat diibaratkan dengan permainan dalam olahraga. Ketika pertandingan usai, kita diajak merenung kembali. Janet Horrigan (Hope When the Game is Over, 2006) menyajikan analisis tentang kaitan para atlet, eksploitasi tubuh mereka, dan kapasitas para atlet dalam menjaga harapan eksistensial.

Apabila para atlet hanya difungsikan meraih profit, maka kemanusiaan mereka tereduksi pada ”penampilan tubuh” belaka. Ketiadaan harapan semakin meninggi karena mereka tercelup proses ekonomi yang berwatak dehumanisasi. Harapan hanya mungkin diwujudkan jika para atlet dilibatkan dalam ”eksploitasi yang saling menguntungkan” meskipun ini juga berarti ketiadaan harapan bagi mereka.

Rakyat dapat disepadankan dengan para atlet dalam gambaran permainan itu. Secara rutin, mereka dilibatkan dalam arena pertarungan. Mereka dilatih menyimak berbagai agitasi. Mereka terbiasa mendengarkan propaganda. Mereka dirancang untuk mendukung program politik tertentu.

Bilik-bilik suara untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin mereka juga telah menjadi ruang biasa.

Perbedaan yang mencolok adalah para atlet dalam olahraga kemungkinan bisa meraih popularitas. Sebaliknya, rakyat tetap menjadi mayoritas yang bungkam dan dibisukan. Rakyat tetap berperan sebatas ”menampilkan tubuh” belaka. ”Eksploitasi yang saling menguntungkan” tidak pernah terealisasi karena ketika permainan politik usai, rakyat tak pernah disapa lagi.

Diwarnai ketidakpastian
Haruskah kita pesimistis dengan keadaan ini? Seharusnya tidak jika kita bisa menjaga keberadaan politik harapan (politics of hope). Politik harapan berada dalam tegangan antara rasa takut pada masa silam dan ketidakpastian masa depan.

Meski demikian, politik tetap berada dalam diri masa sekarang yang ditumbuhi harapan. Secara leksikal, harapan (hope)—seperti dijelaskan Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2010)—adalah keinginan agar sesuatu terjadi dan berpikir bahwa hal itu merupakan suatu kemungkinan.

Politik masa silam menciptakan ketakutan karena egosentrisme para elite amat dominan. Sebaliknya, altruisme untuk memberi kebaikan bagi rakyat begitu dangkal. Politik masa lampau menghadirkan kecemasan karena aksi-aksi kekerasan atas nama keyakinan merebak dengan korban pihak minoritas.
Politik masa lalu menggulirkan kerisauan karena negara lebih banyak absen dalam persoalan-persoalan krusial. Tetapi, pada saat yang sama, solidaritas sosial membesar.

Semua itu memberikan harapan dalam dunia perpolitikan. Manusia, urai Inga Leitane (Hope Pro/Contra Fear?, 2006), memiliki kemampuan menyurutkan ketakutan dan harapan. Ketakutan dan harapan berjalinan. Harapan tumbuh lebih kuat bila semakin banyak ketakutan. Itulah daya harapan yang mampu melenyapkan ketakutan.

Dengan demikian, harapan bisa tergantung dari ketakutan. Ini karena ketakutan bisa dilihat sebagai kekuatan yang menumbuhkan sekaligus memerosotkan harapan. Dengan kata lain, ketakutan sebenarnya menyediakan harapan dan menawarkan betapa pentingnya harapan.

Untuk membesarkan harapan, ketakutan harus disurutkan. Dalam arena perpolitikan, merujuk gagasan Arendt (seperti diuraikan James M Campbell, Hannah Arendt [1906-1975]: Prophet for Our Time, 1970), hal itu dapat dicapai jika politik dimaknai sebagai tindakan, bukan sebagai kerja ataupun karya.

Kerja adalah aktivitas yang sesuai dengan alam, semata-mata mempertahankan kehidupan. Karya adalah aktivitas manusia di dunia pertukangan untuk menghasilkan benda-benda. Tindakan berbeda dari keduanya. Tindakan dijalankan dengan kata-kata dan perbuatan. Tindakan menghasilkan sesuatu yang baru dalam jalinan antarmanusia. Melalui tindakan, seseorang bisa mendapat pujian atau kecaman. Dalam tindakan pula, seseorang secara moral mampu meninggikan atau merendahkan pihak lain.

Mengurangi ketakutan
Bagaimana menentukan tindakan dalam politik dapat dipandang terpuji atau tercela? Tindakan terpuji jika aksi itu bisa memberi harapan dan mengurangi ketakutan.

Sebagai rujukan kita bisa membaca pernyataan yang dikemukakan oleh beberapa warga di Eropa yang tergabung dalam Forum of Concerned Citizens of Europe ketika menyampaikan surat terbuka di Barcelona, Mei 2010. Surat terbuka, yang lebih berisi manifesto itu, bertajuk Living with Diversity: For a Politics of Hope Without Fear.

Aksi di atas berlangsung ketika Eropa dilanda kekacauan, seperti kekerasan rasial dan guncangan perekonomian. Ada empat prinsip utama pada pernyataan sikap itu, yakni: (1) keanekaragaman merupakan esensi Eropa, (2) etos solidaritas dan harapan, (3) melindungi masyarakat, dan (4) ekonomi inklusif.

Semua prinsip itu sesungguhnya universal. Homogenitas kultural dan agama adalah fiksi belaka. Ketika kekisruhan merebak, maka yang harus dijalankan adalah dialog, bukan menciptakan ketakutan atau intoleransi. Melindungi seluruh rakyat menunjukkan keinginan rekonsiliasi terhadap berbagai perbedaan.

Ekonomi yang menunjukkan sifat solidaritas harus diabdikan pada sebagian besar orang, bukan segelintir pihak, karena mampu melawan kebencian dan kecemburuan. Ketika empat prinsip utama itu dijalankan, niscaya politik harapan bisa diwujudkan.

Butir lain yang relevan dikemukakan untuk situasi di negeri kita adalah peran pemimpin. Merujuk ide Erich Fromm (1990-1980), sebagaimana diuraikan oleh Marianne Horney Eckardt (The Theme of Hope in Erich Fromm’s Writing, 2009), harapan memuat paradoks. Harapan bukan penantian pasif, bukan pula desakan yang tidak realistis.

Fromm memakai metafor harimau merunduk yang siap melompat saat momentumnya tepat. Artinya, pemimpin harus mampu menjalankan peran profetik dengan menunjukkan nurani untuk mengatakan apa yang dilihat. Bahasa pemimpin adalah suara alternatif, pilihan, dan kebebasan. Kita butuh pemimpin semacam ini. Solidaritas sosial dan pemimpin profetik menjadikan politik harapan terjaga.

(fisip.undip.ac.id-TRIYONO LUKMANTORO Dosen FISIP Universitas Diponegoro, dimuat di OPINI Kompas, edisi 10 Januari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga Artikel Berikut Ini :

Bagaimana supaya Anda menang di PILEG bergantung dari anda membangun AUDIEN ANDA SENDIRI dan membangun DAYA AJAK yang kuat. Bagaimana Caranya?


Silahkan baca artikel-artikel pemenangan PILEG berikut ini :

  1. Persiapan Menyeluruh Untuk Pemenangan Anda di PILEG
  2. Inilah Penyebab Proses Pemenangan Dilakukan Serampangan
  3. Mau Nyaleg? Sempatkan Untuk Mempelajari Situasi dan Iklim Di Internal
  4. 12 Wilayah Rahasia Ini Jarang Semua Di Garap Caleg Dalam Marketing Politik
  5. Buku ini awalnya hanya untuk catatan pribadi saat jadi ketua tim sukses pileg 2009
  6. Mau Nyaleg? Sempatkan Untuk Mempelajari Situasi dan Iklim Di Internal
  7. Fenomena Partai Yang Seharusnya Jadi Cambuk Bikin Terus Perbaikan Internal Tanpa Kecuali
  8. Cari Pengurus Partai Ternyata Sulit. Bisa-bisa Kelimpungan
  9. Buku : Kunang-kunang Pemenangan Pemilu
  10. Inilah Penyebab Proses Pemenangan Dilakukan Serampangan
  11. Mendalami Pemilih Pragmatis
  12. Bagi Caleg Kendala Vital Untuk Menang Pileg Sebenarnya Hanya Satu
  13. Jangan Salah Pendekatan, Efeknya Fatal Untuk Kemenangan Sang Caleg
  14. 10 Bahaya Pragmatis Yang Mungkin Jarang Dipikirkan Serius Efeknya Sangat Berbahaya
  15. Semua Inti Tulisan Pemenangan Pileg Tentang Hal Ini, Apa Saja?
  16. Bila Nyaleg Jangan Kalah Sama Tukang Sayur Keliling
  17. Bukan Yang Terbaik Tapi.....
  18. Asyikkkk!!!!Tulisan Saya Di Muat dan Di Sebar
  19. Cara Menang Mutlak di Pileg
  20. Persiapan Menang Nyaleg Di Pileg 2019
  21. Berbekal Sejak Dini, Dengan Strategi Pemenangan Yang Ampuh
  22. Mendalami 2 Jenis Pemilih Pragmatis, Anda Jangan Terperangkap
  23. 6 Penyebab Yang Menjadikan Terpaksa Harus Pragmatis
  24. 5 Hal Ini Sepertinya Harus Ada Pada Caleg Supaya Tak Beresiko Besar
  25. Caleg Harus Siaga Diri Mengamankan Diri, Aman dari Sisi Ini

============================

Lanjutkan ke SESI 2 : Klik disini!

-------------------------------------------------