DALAM keadaan setengah ba-ngun setengah tidur, Eko Prasetyo, 27 tahun, merasa melihat sesosok perempuan cantik berbusana keraton mendekatinya dari arah Laut Selatan. Tapi, sebelum sosok itu berbentuk nyata, Eko terjaga. Lap, bayangan itu buyar.
"Selamat, itu pertanda bagus," kata Eko, menirukan ucapan Patawi, 60 tahun, juru kunci makam Mbah Karso Wono Samudro, leluhur Desa Grajagan, Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur, seusai bersemadi, akhir Desember lalu. Patawi menjelaskan, yang "datang" adalah Nyai Roro Kidul, Ratu Laut Selatan.
Sang Nyai, konon, hanya muncul untuk orang yang mencapai suwung (konsentrasi penuh) dalam liyep layap ing ngaluyup (kondisi seperti tidur batin mengembara). Tentu Eko puas. Tak sia-sia tirakatnya di tengah malam itu.
Untuk mencapai makam tua di tengah hutan bakau Teluk Karangan itu, Eko harus berjalan tiga kilometer dan melintasi setengah kilometer laut dengan sampan nelayan dari pantai Grajagan. Demikianlah saran seorang simpatisan Partai Gerindra yang diikutinya.
Eko, bekas "sales" sepeda motor, mengaku makin percaya usahanya mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banyuwangi bisa tercapai. Partai Gerindra memang cuma menaruhnya di nomor urut empat. Tapi, "Kekuatan gaib modal penting lolos target," katanya Rabu pekan lalu.
Tak hanya bersemadi di hutan bakau, Eko memasang pamor ke Mbah Rus-tamaji, 89 tahun, dukun asal Desa Tembokrejo, Muncar, Banyuwangi. Tapi Rustamaji sendiri tak mau jumawa. Ia mengaku hanya perantara manusia dengan Yang Mahakuasa. Syaratnya, yang punya hajat harus bersih.
Begitulah, tak sedikit calon anggota legislatif yang menempuh jalan "gaib" menyongsong Pemilihan Umum 2009. "Ya, begitulah fenomenanya," kata Permadi, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan-yang sebelumnya dikenal sebagai paranormal.
Tempat "keramat" dan para dukun pun, akhirnya, ramai menerima tamu. Gua Istana, Gua Mayangkoro, dan Gua Padepokan di Alas Purwo, 67 kilometer dari Kota Banyuwangi, misalnya, tiap malam dipadati 300-an orang yang ingin bertapa.
"Baru ramai begini mendekati pemilu," kata Subakti, 51 tahun, penjaga Resor Pancur di Alas Purwo. Tiga gua yang dipercaya pernah dijadikan tempat bertapa Presiden Soekarno itu biasanya hanya dikunjungi puluhan orang.
Mbah Komari, penjamas (pencuci pusaka) di Desa Badal Pandean, Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, belakangan ini menerima banyak tamu pemburu keris. Salah satu primadona adalah keris Jalak Tilamsari.
Keris 30 sentimeter tanpa luk (lekuk-an) ini diyakini dibuat Empu Andajasangkala pada 1186 tahun Jawa, pesanan khusus Prabu Banjaransari, Raja Pajajaran. Tuahnya pengasihan, menarik simpati orang di sekitar si empunya. Artinya, cocok untuk menebar pesona sang calon anggota legislatif.
"Para caleg pada datang ke saya," kata Mbah Komari, yang belum melepas kerisnya. Ditawarkan berapa, Mbah? "Tahun 1965 saja keris saya ini pernah ditawar Rp 1 juta," kata Mbah Komari. "Sekarang tentu tak ternilai."
Luki-sebut saja begitu-calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kabupaten Jember, Jawa Timur, bahkan perlu mengunjungi lebih dari 15 "orang pintar" dalam dua bulan terakhir. Dari mereka, pria 37 tahun itu menerima nasihat, beragam azimat, dan petunjuk ritual yang harus dilakoni.
Ia, misalnya, disuruh puasa mutih-hanya makan sekepal nasi dalam sehari semalam-selama tujuh hari. Tujuh hari sebelum pemilihan, dia harus mandi kembang tujuh rupa setelah lewat tengah malam. "Ada juga kemenyan dan benda-benda lain yang harus disebar di daerah pemilihan saya," katanya.
Pesaing Luki, Samo-bukan nama sebenarnya-disuruh dukun dari Banyuwangi menanam 50 batang paku usuk (ukuran 12 sentimeter). Satu desa ditanami satu paku. "Di daerah pemilihan saya ada 48 desa," kata calon dari Partai Karya Peduli Bangsa berusia 35 tahun itu. "Sisanya ditanam di rumah dan di alun-alun kota." Ia menunjukkan bungkusan hitam berisi sisa paku yang belum ditanam.
Sang dukun memerintahkan paku ditanam diam-diam lewat tengah malam. "Istri saya saja enggak tahu saya menanam paku di pekarangan," Samo berbisik. Pernah anak buahnya hampir kepergok hansip ketika hendak menanam paku di sekitar Balai Desa Tegalgede. "Untung, mereka bisa berkelit, dan meyakinkan," kali ini Samo tertawa.
Samo juga berziarah ke makam para kiai sepuh dan sowan ke beberapa kiai yang masih hidup. "Selain minta didoakan, juga menunjukkan kepada calon konstituen kalau saya akrab dengan kiai panutan mereka," katanya.
Mardiyono, calon anggota legislatif Partai Karya Peduli Bangsa dari Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menyatakan menjauhi kemenyan dan dupa serta tidak berendam di sungai, tak mencari pusaka, dan tak berziarah ke makam-makam. Pengalamannya pada 2004 tak membuahkan hasil. Ki Bagus Kuswandono, penasihat spiritual barunya, punya pendekatan berbeda.
"Syaratnya, saya rajin beribadah, menghindari molimo, dan beramal," katanya. Mardiyono juga tak memasang baliho. Ia hanya berkampanye dari pintu ke pintu. Targetnya sepuluh orang per hari. "Pak Bagus membantu nonteknis dengan membuka pikiran orang agar melihat upaya pengabdian saya," katanya.
Politikus Partai Indonesia Baru Kota Tegal, Agil Darmo Wiyoto, rajin berziarah ke makam Ki Gede Sebayu di Desa Danawarih, Tegal, Jawa Tengah, setiap malam Jumat Kliwon. Kamis pekan lalu-kebetulan malam Jumat Kliwon-ia malah mengajak Tempo.
Agil tampak khusyuk memanjatkan doa. Gemericik hujan, yang menambah dingin malam, tak terlalu dihiraukannya. "Bacaannya biasa saja, tanpa dupa atau sesaji," katanya. Tahanan politik di era Soeharto ini mengaku awalnya tak percaya mistik.
Ia merasa "dibuka" ketika beberapa tahun lalu kerabatnya, Rekso Soelaiman, 75 tahun, memberinya sebilah keris kecil luk sembilan. Konon, keris itu pe-ninggalan leluhurnya, Ki Gede Sebayu. Entah kebetulan atau tidak, keberuntungan bertubi-tubi menghampirinya.
Meski didukung partai kecil, ia sukses menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tegal, bahkan jadi ketua komisi. Secara gaib, kata Agil, keris itu menjadi simbol legitimasinya sebagai trah Sebayu memimpin Tegal.
Pamor Ki Gede, senopati Mataram pendiri Kota Tegal dan Slawi itu, seperti menurun kepadanya. Sekarang, Agil tetap rajin berziarah, berharap bakal terpilih lagi pada Pemilu 2009.
Menurut Eko, laku mistik banyak membantu dia, yang cekak dana. Hasil dua laku mistiknya, kata dia, sudah terasakan. "Saya semakin dipercaya orang-orang," ujar Eko, yang hanya menyiapkan Rp 20 juta.
Menurut Permadi, laku mistik merupakan olah kebatinan untuk mela-raskan mikrokosmos (diri manusia) dengan makrokosmos (alam semesta). Tapi prosesnya panjang, tak bisa sesaat dengan meminta bantuan dukun atau pusaka. "Yang sesaat itu yang sesat," kata Permadi. "Sekarang tirakat, tapi berhenti kalau sudah kepilih, lalu ikut-ikutan korupsi dan main perempuan. Ya... enggak ada gunanya."
Agus Supriyanto, Bernada Rurit (Yogyakarta), Edi Faisol (Tegal), Ika Ningtyas (Banyuwangi), Mahbub Djunaidy (Jember), Hari Tri Wasono (Kediri)
(majalah.tempointeraktif.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar